Wednesday, September 29, 2010

Sertifikasi Bukan Alat Pengukur Mutu

KUALITAS GURU
Sertifikasi Bukan Alat Pengukur Mutu
Rabu, 29 September 2010 | 03:36 WIB


Jakarta, Kompas - Sertifikasi guru bukan ukuran yang tepat untuk menilai peningkatan mutu guru. Sebab, sertifikasi guru lebih merupakan proses untuk menetapkan guru apakah memenuhi syarat atau tidak sesuai ketentuan yang berlaku.

Pasalnya, peningkatan mutu guru pascasertifikasi tidak serta-merta meningkat tajam. Karena itu, program sertifikasi guru yang dilaksanakan pemerintah hingga tahun 2015, baik lewat penilaian portofolio maupun pendidikan dan pelatihan guru, tetap harus diikuti dengan pembinaan pengembangan profesi guru secara berkelanjutan.

”Jika pemerintah dan masyarakat belum puas dengan kinerja guru pascasertifikasi, jangan hanya menyalahkan guru. Selama ini pembinaan dan pelatihan kepada guru dilakukan secara massal saat ada perubahan kebijakan pendidikan. Pembinaan secara sistematis dan komprehensif tak ada,” kata Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistiyo di Jakarta, Selasa (28/9).

Sulistiyo mengatakan, peningkatan mutu guru tak bisa dilaksanakan dengan pendekatan proyek. Keseriusan penanganan guru harus jadi komitmen pemerintah, di antaranya lewat direktorat jenderal peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan yang sudah ada.

”Bukan dibongkar-pasang sesukanya. Kita sudah tak bisa coba-coba lagi dalam peningkatan mutu guru. Kita mesti sudah punya sistem pembinaan profesionalisme guru yang mantap,” kata Sulistiyo.

Ketua Harian Pengurus Besar PGRI Unifah Rosyidi mengatakan, peningkatan mutu guru pascasertifikasi ada, tetapi belum signifikan. ”Seharusnya sertifikasi jadi langkah awal untuk membenahi pembinaan dan pelatihan guru,” ujar Unifah.

Menurut dia, profesionalisme guru dapat berjalan jika ada sebuah sistem yang terus-menerus menjaga pembinaan guru. Selain itu, guru sendiri juga harus ada komitmen menjadi guru sejati.

Unifah mencontohkan, di Singapura, pemerintah mengharuskan guru mendapat pelatihan 100 jam per tahun. Para guru mendapat pelatihan mendasar agar mereka bisa mengembangkan metodologi dan bahan ajar untuk mendorong prestasi siswa.

Sampai saat ini pembinaan guru yang mendasar belum ada. Pembinaan untuk membuat guru memahami berbagai metodologi pembelajaran yang mampu membuat siswa aktif dan menikmati belajar masih minim. Kemampuan guru mengevaluasi siswa pun masih terbatas sebab alat evaluasi dibuatkan oleh dinas pendidikan setempat.

Kepala SDN 07 Poso Ani Dako mengatakan, kesempatan mendapatkan pelatihan bagi guru sangat terbatas. Bentuknya pun lebih banyak semacam penataran atau seminar.

Alhasil, guru-guru hanya paham secara konsep. Perubahan-perubahan paradigma guru dalam pembelajaran tidak dapat diimplementasikan dengan baik karena guru masih bingung.

”Sebagai guru, tentu ingin membuat siswa semangat belajar. Para guru pun punya kemauan untuk berubah. Di daerah sulit mendapat model-model pembelajaran yang menyenangkan bagi guru dan siswa,” ujarnya.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home