Wednesday, June 07, 2006

Mutlak Harus Akuntabel Tanpa Transparansi, Anggaran Pendidikan 20 Persen Tidak Berarti

Rabu, 07 Juni 2006

Jakarta, Kompas - Realisasi anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN tidak ada artinya bila tak ada transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan yang ketat. Karena itu, harus ada gerakan masyarakat untuk memonitor dan mengawasi anggaran pendidikan agar benar-benar sampai ke sekolah dan anak didik.

Perlunya monitoring dan pengawasan anggaran pendidikan itu mengemuka dalam seminar dan lokakarya "Pendidikan Dasar Gratis dan Bermutu", yang diselenggarakan Komnas HAM dan LBH Pendidikan di Jakarta, Selasa (6/6).

Direktur Eksekutif Kapal Perempuan Yanti Mochtar mengemukakan, sangat mengerikan bila anggaran pendidikan yang naik menjadi 20 persen dari APBN tidak sampai ke sekolah atau anak didik. Untuk menjamin agar dana pendidikan sampai ke anak didik, Yanti menilai perlunya kesiapan masyarakat untuk melakukan monitoring dan mengevaluasi sejauh mana pemerintah menggunakan dana itu untuk meningkatkan mutu pendidikan.

Staf Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Naning Mardiniyah juga mengemukakan pentingnya masyarakat mengawasi bagaimana pemerintah melaksanakan alokasi anggaran pendidikan. Selain menekankan perlunya tekanan masyarakat dan gerakan kultural untuk mengawal anggaran pendidikan 20 persen, Naning juga mengemukakan perlunya Badan Pemeriksa Keuangan melakukan audit investigatif terhadap belanja pendidikan.

Perwakilan UNESCO di Jakarta, Alisher Umarov, juga mengemukakan bahwa masalah pendidikan tidak akan selesai hanya dengan peningkatan anggaran pendidikan. Apalagi dengan kenaikan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN, pengeluaran total untuk pendidikan di Indonesia masih tergolong kecil dibandingkan negara-negara lain. Umarov juga menekankan perlunya transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi penggunaan anggaran pendidikan sampai di sekolah agar setiap rupiah yang dibelanjakan untuk pendidikan sampai ke tingkat masyarakat.

Ketua Umum Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) Soedijarto mengingatkan, alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN dan APBD merupakan alokasi minimal yang diamanatkan oleh konstitusi. Jumlah tersebut, menurut Soedijarto, masih belum mencukupi untuk membiayai pendidikan sebagaimana dituntut dalam negara kesejahteraan.

"Di Belanda, sekolah swasta maupun sekolah negeri dibiayai oleh pemerintah. Kita sudah salah sejak semula. Pada zaman Orde Baru, sekolah negeri telah memungut SPP. Seharusnya, kepala SMP negeri yang memilih-milih murid harus dipecat," kata Soedijarto.

Bila alokasi anggaran pendidikan 20 persen direalisasikan, kata Naning, tidak boleh ada lagi anak di Indonesia yang tidak bisa bersekolah di tingkat SD dan SMP. Karena itu, tambahnya, selain anggaran pendidikan dialokasikan untuk membiayai sekolah formal, sebaiknya juga memberikan alokasi dana untuk komunitas-komunitas yang membuat sekolah sendiri. (wis)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home